Dunia pertelekomunikasian negeri ini memang berkembang sangat pesat, bahkan bisnis ini ini bak lahan subur yang siap digarap oleh banyak pihak. Mulai dari diluncurkanya jaringan komunikasi berbasiskan teknologi GSM dan CDMA. Operator-operator baru bermunculan mencoba menantang raksasa dan penguasa yang telah menggandrungi bisnis lebih lama di lahan yang sama. Perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia tergolong cukup pesat. Berdasarkan catatan ICT Statistics tahun 2005, tercatat pelanggan telepon seluler di Indonesia sudah mencapai 46 juta pelanggan dengan tingkat penetrasi 21 persen. Namun kalau dibanding negara Asia lain, Indonesia tergolong tertinggal. PDB per kapota Indonesia berada pada tingkat yang sama dengan China dan Filipina, tetapi tingkat penetrasi selulernya masih lebih rendah. Dengan tingkat penetrasi yang masih rendah dan kebutuhan akan telekomunikasi yang masih tinggi, teknologi telepon bergerak berpengaruh besar dalam memperluas akses telekomunikasi. Alhasil, perang tarif pun tak bisa dihindari karena saat ini penduduk Indonesia lebih cenderung ‘price sensitive’ dibandingkan dengan ‘technology-sensitive’. Oleh karena itu tariff yang murah dengan fasilitas yang mumpuni paling di cari oleh pelanggan seluler di Indonesia.
Saat ini iklan operator seluler terkesan saling banting harga, mulai daritelepon murah, telepon gratis, SMS murah, dan juga SMS gratis. Layanan SMS tidak bisa dipandang sebelah mata. PT Excelcomindo dengan produknya XL menyebutkan pemasukan dari layanan SMS saja mencapai 30-35 persen. Segala program diskon diberlakukan oleh operator telekomunikasi untuk mencerminakan operator termurah.
Aroma Iklan operator seluler telah mengarah pada persaingan, saling menghina, merendahkan dan menyesatkan konsumen dengan tariff yang terkesan murah. Iklan memang salah satu strategi pemasaran yang paling penting. Namun jika dalam iklan itu sudah tidak lagi memahami kode etik periklanan, maka hasilnya bisa terlihat di iklan-iklan operator seluler di tanah air ini dan tetntu saja itu menjadi masalah bagi sang regulator yang telah menetapkan regulasi tersebut dan perusahaan yang telah melanggarnya.
Kriteria iklan yang melanggar hak-hak konsumen adalah iklan yang di dalamnya memuat kalimat yang (1) tidak obyektif, (2) tidak jelas, dan (3) penyesatan. Iklan-iklan yang termasuk dalam kriteria tersebut akan merugikan konsumen. Untuk mengetahui batasan suatu iklan yang tergolong dalam kriteria tersebut, maka dapat digunakan rincian iklan-iklan yang dilarang, yang terdapat di Undang-Undang R.I. Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan perundang-undangan yang lain, terkait dengan periklanan.
Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pada pasal 10 UU disebutkan: "Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pemyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan / atau jasa, serta tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan”
Konsekuensi hukum terhadap pelanggar peraturan periklanan berupa pemberian ganti rugi atas kerugian konsumen, sanksi pidana dan administratif, serta penghentian peredaran ikian terhadap pelaku usaha periklanan. Konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pelaku usaha periklanan berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Gugatan ganti rugi konsumen yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum memiliki jangkauan yang lebih luas bila dibandingkan dengan gugatan ganti rugi berdasarkan wanprestasi, mengingat iklan yang merugikan konsumen bukan merupakan penawaran pada umumnya, kecuali didalamnya memuat syarat atau janji yang sifatnya spesifik yang merupakan esensi dari perjanjian, sehingga iklan yang tadinya hanya merupakan undangan untuk melakukan penawaran berubah kedudukan menjadi penawaran.
Apakah iklan-iklan operator menyesatkan? Ya, karena tidak sesuai dengan jasa yang ditawarkan. Atau paling tidak, memberikan bagi kejelasan atas pemberlakuan tarif dimaksud. Sementara untuk para pembuat iklan, ada ketentuan di pasal 17, yang menyatakan pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui konsumen mengenai fasilitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan / atau jasa. Sanksinya? Ada di pasal 62 bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan pasal-pasal di atas, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 milyar rupiah. Dan ini pun terjadi di Indonesia penetapan harga yang ditetapkan dengan adanya syarat dan ketentuan yang berlaku, namun pertanyaannya kenapa syarat tersebut dibuat sekecil mungkin dibandingkan dengan tarif yang ditentukan? Hendaknya ini menjadi perhatian bagi regulator dalam menindaklanjuti kenakalan operator. Dan sebagai operator hendaknya pusatkan iklan yang diinformasikan kepada pelanggan jangan hanya mementingkan target semata. Ada pun contoh-contoh pelanggaran kode etik pelanggaran yang dilakukan operator telekomunikasi adalah :
Iklan yang dipasang di depan Stasiun Kereta Api di Medan Sumatra Utara terkesan menarik, bagaimana tidak? Disini terlihat jelas iklan yang saling menjatuhkan antara satu operator dengan operator lain. Sekilas Ketika kita membaca iklan XL diatas, maka kita akan teringat akan tarif termurah yang dimiliki operator XL yaitu Rp 0.1 / detik. Namun melihat iklan dari operator SIMpati di sebelahnya seakan-akan pihak SIMpati secara tidak langsung telah menghina XL. Jika kita melihat mengenai aturan periklanan di Indonesia bahwa iklan diatas terkesan saling menjatuhkan. Hal ini secara langsung telah menjatuhkan operator XL. Dan menurut kami hal tersebut telah menyalahi kode etik yang telah diatur oleh badan jurnalistik Indonesia.
Keterangan : “TETANGGA SEBELAH, ngomongnya paling murah, ternyata tarifnya RIBET banget dan jaringannya TERBATAS”.
Dalam Etika periklanan yang yang dikeluarkan oleh PPPI, iklan SimPATI diatas melanggar kode etik sebagai berikut:
1. Merendahkan pesaing lain. Dalam etika periklanan Iklan tidak boleh merendahkan produk pesaing secara langsung maupun tidak langsung
2. Perbandingan harga / tariff yang masih harus diperjelaskan. Perbandingan harga hanya dapat dilakukan terhadap efisiensi dan kemanfaatan penggunaan produk, dan harus diseretai dengan penjelasan atau penalaran yang memadai. Simpati tidak menjelaskan secara rinci dan bertanggung jawab terhadap perbandingan tariff dengan sainganya. Hal ini terdapat pada kalimat : …ternyata tarifnya RIBET banget dan jaringannya TERBATAS”.
3. P3I mempermasalahkan iklan operator telekomunikasi yang secara tidak langsung menyiratkan 'peperangan'. Padahal, jelasnya, dalam kode etik periklanan tidak boleh menyertakan kata-kata paling atau ter- dalam sebuah iklan, apalagi memberikan informasi yang tidak lengkap kepada konsumen. Dan hal ini terdapat jelas di iklan baligo Simpati.
Selain melanggar kode etik periklanan iklan Simpati juga melanggar dalam undang-undang perlindungan konsumen nomor 8 tahun 1999, pada pasal 9 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksi, mengiklankan suatu barang/jasa secara tidak benar, dan secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan atau jasa lain, menggunakan kata-kata yang berlebihan.
Tidak hanya iklan simpati yang menyalahi aturan dan perundangan. Iklan XL pun sama-sama melakukan kesalahan yang sama seperti:
1. Menggunakan kata-kata ter-.Periklanan tidak boleh menyertakan kata-kata paling atau ter- dalam sebuah iklan, apalagi memberikan informasi yang tidak lengkap kepada konsumen.
2. Tanda Asteris (*).
Tanda asteris pada iklan di media cetak tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan, menyesatkan, membingungkan atau membohongi khalayak tentang kualitas, kinerja, atau harga sebenarnya dari produk yang diiklankan, ataupun tentang ketidaktersediaan sesuatu produk. Tanda asteris pada iklan di media cetak hanya boleh digunakan untuk memberi penjelasan lebih rinci atau sumber dari sesuatu pernyataan yang bertanda tersebut. Dalam kasus ini tanda asteris tergolong menyesatkan konsumen
3. Pencantum Harga
Jika harga sesuatu produk dicantumkan dalam iklan, maka ia harus ditampakkan dengan jelas, sehingga konsumen mengetahui apa yang akan diperolehnya dengan harga tersebut. Jika dalam harga masih terdapat keterangan lebih lanjut maka sama saja membohongi konsumen atau membuat bingung konsumen.
Contoh lain pelanggaran operator telekomunikasi dalam menginformasikan produk yang ditawarkan adalah iklan yang dilakukan oleh PT.Indosat yang diiklan oleh Dian Sastrowardoyo.
Iklan diatas telah melanggar Peraturan Menkominfo No. 25/PER/M.Kominfo/05/2007 Tentang Penggunaan Sumber Daya Dalam Negeri Untuk Produk Iklan Yang Disiarkan Melalui Lembaga Penyiaran pasal 7 yang mnyebutkan Isi/muatan produk iklan yang disiarkan melalui Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan standar maupun kode etik periklanan Indonesia yang dikeluarkan oleh asosiasi yang bersangkutan, serta memenuhi persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI, maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
EPI (Etika Periklanan Indonesia) mengeluarkan tata karma beriklan, diantaranya:
Pemakaian Kata "Gratis" atau kata lain yang bermakna sama tidak boleh dicantumkan dalam iklan, bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain. Biaya pengiriman yang dikenakan kepada konsumen juga harus dicantumkan dengan jelas. Dalam websitenya mentari menjelaskan tentang yarat dan ketentuan yang berlaku. Jadi bukan benar-benar gratis tapi ada biaya lain yang harus dikeluarkan olah konsumen, yaitu dengan cara melakukan isi ulang (reload) terlebih dahulu. Gratis bicara 1 menit tersebut memiliki batas masa aktif dari sesuai dengan nominal isi ulang. Dapat dilihat dibawah ini:
Isi Ulang
(fisik & non-fisik) Masa Aktif Bonus
Gratis 1 Menit Pertama
Rp 10.000,- & Rp. 20.000,- 7 hari
Rp 25.000,- ke atas 15 hari
Sekalipun adanya price cap yang telah ditentukan oleh pemerintah sebaiknya pelaku usaha dan penyedia jasa telekomunikasi hendaknya dalam menentukan tarif melebih mementingkan kepentingan pelanggan adalam arti jangan sampai pelanggan bingung dengan tarif yang diberlakukan dengan adanya syarat dan ketentukan berlaku. Sehingga ada kejelasan secara detail dalam mengiklankan jangan sepotong-potong yang akibatnya salah persepsi dimata pelanggan. Pelaku usaha pun hendanya dalam menginformasikan tarif yang ditetapkan mempertimbangkan adanya undang-undang perlindungan konsumen, dan peraturan pemerintah berkenaan dengan kode etik periklanan. Sehingga persaingan pun terkesan sehat, tanpa menjatuhkan satu dengan yang lainnya.
0 comments:
Post a Comment